Elegi di Ujung Jejak yang Mengabur

Telah kutambatkan rindu pada dermaga yang karam,

namun anginmu masih berembus di lipatan waktu yang enggan pupus.
Betapa fana manis yang kautabur di padang perasaanku —
sekali hujan pengkhianatan tumpah,
luruh sudah sekalian bunga kenangan yang belum sempat kupetik.

Kau,
suluk yang dahulu kurapal dengan takzim,
kini menjelma fatamorgana di padang batin yang gersang.
Tatapanmu — yang dahulu rahim tenang bagi gundahku —
menjadi pisau sunyi yang menyayat dari balik senyum yang kau wariskan.

Adakah aku sesungguh itu rindu,
atau sekadar mengais bayang dari kasih yang tak pernah utuh?
Barangkali bukan engkau yang kucari,
melainkan semayam dicinta yang pernah menjinggakan langit dadaku.

Tapi,
apa artinya menjingga,
jika ujungnya senja itu runtuh
di pelataran yang kaubakar sendiri?

Kukubur segala tanya dalam mausoleum waktu,
sebab tak semua duka layak diurai,
dan tak semua manis patut dikenang setelah busuk terkuak.
Aku hanya tinggal sunyi —
menerka luka mana yang belum sempat kuseka dari pelipis hati.

Kini aku hanyalah tubuh yang memungut serpih,
mencicil bangkit dari reruntuh yang kausinggahi tanpa pamit.
Biarlah kau tinggal sebagai abjad yang kulenyapkan dari puisi hidupku.
Tak perlu kupanggil kembali
nama yang telah berkhianat pada takdir yang kutitipkan padanya.

Sebab cinta sejati tak lahir dari tangan yang tega,
dan rasa yang agung tak tumbuh di dada yang pernah berkhianat.

— Aku,
yang kini menggenggam sunyi dengan martabat.






Komentar

Postingan Populer