Dulu aku kira bertemu dengannya adalah sebuah hal yang kesenangannya tidak dapat tergantikan. Tapi aku salah, justru karena dirinya semua kesenangan itu sirna.
Seorang laki-laki yang awal kedatangannya tidak aku harapkan, masuk mengetuk pintu dengan konsisten sampai aku membukanya. Lebih dari tiga kuartal ia berusaha menjabat tanganku, sampai akhirnya dia menyentuh kedua telapak milikku.
Caranya cukup menarik dan waktu itu bisa membuatku cukup terkesima. Berbagai pertanyaan aku lontarkan padanya dan hebatnya ia mampu menjawabnya dengan tenang dan masuk akal.
Aku tidak pernah membiarkan orang asing masuk ke dalam rumahku, tapi dialah tamu pertama tak diundang yang kuberikan tiket.
Setahun berjalan dengan baik, tapi aku masih malu memamerkan pada dunia bahwa kita telah berjalan bersama. Mungkin terdengar jahat, tapi aku tidak melihat hal menarik ada di dalam dirinya. Kata orang perasaan tumbuh karena dibiasakan, dan itu terjadi padaku. Aku membuka pintu selebar-lebarnya untuk laki-laki yang saat itu aku kira baik.
Darinya aku belajar lebih dalam tentang diriku sendiri, bahwa aku memiliki ketulusan yang berdigdaya. Aku bahkan tidak menyangka, tapi aku salah menaruh ketulusan itu padanya.
Tahun kedua berjalan baik, aku mulai berani menceritakan perihal dirinya kepada entitas raga terdekatku. Seperti bernadya,
Caraku sampaikan seolah semua nyata
Agar semuanya setuju
Dan yakin pada pilihanku
Memilihmu
Sifat baikmu yang orang tahu
Itu karanganku
Hampir setengah entitas ragaku tadi tidak menyangka aku bisa jatuh hati dengan laki-laki seperti dia. Banyak suara melintasi indraku dan berakhir di kedua depaku, "Mev, kau bisa dapat lebih dari itu.
Aku tak mendengarnya, aku yakin pada pilihanku saat itu. Yang aku tau, aku bangga dan senang bersama dirinya.
Tahun ketiga semuanya mulai retak. Gempa dimana mana tapi keyakinanku saat itu masih kokoh berdiri.
Sampai aku tau, bahwa dia bukan orang baik. Dia hanyalah seorang pembohong yang aku peluk dengan sangat erat.
Komentar
Posting Komentar