buai rayu
Buai rayu tipuan muslihat manusia
Ketika mendambakan yang indah dan yang datang menghampiri lebih dari sekadar indah.
Bukankah menyenangkan?
Ketika mendambakan pelukan hangat dari tiap kedipan dan yang datang menghampiri lebih dari sekadar memandang.
Bukankah menyenangkan?
Hal-hal yang kerap lebih baik terkadang datang bersama bayangan bengisnya. Kita tidak diajarkan di bangku sekolah bagaimana melawan kebengisan itu, kita hanya diajarkan untuk mendamba.
Maka ketika jiwa terisi dengan keindahan hasil dambaan, terbuai rayu semuanya.
Indah tapi ketika kebengisan datang merobek ulas yang susah payah ditenun dengan waktu, sadarlah kita akan tipuannya.
Manusia kerap sekali mendamba, sama halnya dengan pembelot yang medamba kebebasan tanpa tau melukai ulas tadi. Tak kenal kata maaf, justru yang diramahi adalah repetisi. Itulah muslihatnya.
Tafsir dari penulis:
Puisi ini terasa penuh dengan refleksi dan kepedihan tentang harapan, kebingungannya, dan kenyataan pahit yang muncul setelah kita terbuai oleh apa yang kita dambakan. Ada keindahan dalam setiap mimpi, namun di balik itu, ada kerapuhan yang harus kita hadapi. Manusia memang kerap kali mendamba sesuatu yang indah, namun sering kali tanpa sadar kita terjebak dalam ilusi yang datang dengan bayangan-bayangan kelam.
Kita mendambakan cinta, kebebasan, dan kebahagiaan, namun terkadang kita lupa bahwa keinginan-keinginan tersebut dapat menimbulkan luka yang dalam ketika kenyataan datang dengan cara yang lebih keras dari yang kita bayangkan. Bayangan kebengisan itu datang dengan cara yang tak terduga, dan justru di situlah kita belajar bahwa muslihat dunia tidak selalu indah, bahkan bisa sangat menyakitkan.
Pembelotan terhadap harapan-harapan itu bukan hanya soal kecewa, melainkan tentang mengakui bahwa segala sesuatu yang kita dambakan bisa datang dengan harga yang harus kita bayar. Dalam siklus tanpa akhir, kita terjebak pada rutinitas yang berulang—repetisi yang tampaknya tak bisa dihentikan.
Terima Kasih sudah membaca sajak dariku
Komentar
Posting Komentar