Saling Menguatkan Dengan Jarak dan Asa


Dari dulu aku sudah membenci jarak. Dan kini setelah ada mereka, kita malah semakin berjarak.

Menyapa dengan duka, hadir sebagai petaka nyata di berbagai belahan dunia. Kepanikan menjalar cepat yang berakhir memutuskan temu antara kita. Sudah ribuan manusia meninggalkan dunia tanpa sempat pamit dengan harmoni, ya walaupun yang namanya kematian adalah ironi.

Kini benda itu telah mencapai kediaman kita, sialnya kita bahkan tidak tau apakah ia sedang benar-benar berada di sebelah kita karena kemungkinan besar negeri ini belum punya kuasa untuk mengindrakannya. Mirip efek kejut pada senjata listrik yang ditembakkan, kekhawatiran ini seakan jadi tuba. Beranjak berdiam diri dan menyepi pada ketidaktahuan kini menjadi solusi. Koneksi, jadi makanan kita untuk tetap berkabar. Memastikan kau dan aku masih satu frekuensi

Inikah musibah abad 21? Disaat manusia dengan hebatnya bisa mengirim antariksawan ke luar angkasa tapi tetap kalah dengan ciptaan Tuhan yang tak kasat mata.

Memang kita manusia tak sepatutnya sombong atas kekuasaan Tuhan

Ya, virus Corona. Kalianlah yang sedang kami bicarakan, menjadi trending di berbagai aspek kehidupan kami. Pasien datang berbondong-bondong tanpa mengenal spasi hingga tenaga medis tumbang tak sanggup menahan lonjakan eksponensial pasien Covid-19. Sebanyak 178.281 pasien positif Covid-19 di dunia telah meninggal (sumber Tirto

Menunggu grafik melandai, itulah harapan terbesar kita. Hampir semua ahli sepakat dengan itu, tapi semua belum bisa menemukan mufakat untuk melandaikan grafik pertumbuhan Covid-19. 

Sebagai bagian dari komunitas bangsa dan dunia, kita punya andil besar dalam mengatasi pandemi ini. Saatnya menahan diri untuk tidak berbagi kabar palsu, menilik dari griya kita masing-masing, dan berupaya berkontribusi menyumbang sumber daya kita yang berlebih.

Ingatkan kepada diri dan negeri bahwa kita pernah mengarungi berbagai krisis hingga bertahan sampai hari ini.  Krisis ekonomi ’97/’98, perlambatan ekonomi global 2008, ragam persoalan sosial mulai dari bencana tsunami Aceh, sampai gempa Palu. Tapi kita tetap bertahan dan terus tumbuh bersama.

Physical distancing, menjadi sabda dari pemerintah agar kita bisa keluar bersama dari keadaan ini. Memang sulit, pelik. Tapi kini jaraklah jalan awal yang bisa membuat harapan kita sembuh terkabul. Setidaknya selain jarak, hal utama yang paling penting dan mendesak adalah rasa optimisme untuk melewati persoalan ini. Salah satu mantra penting yang harus dilontarkan kepada kita “jangan panik”, walau wajah gembira ria telah berubah jadi muram durja tapi kita harus siap ditekan keadaan. 

Tak tau kapan baik buruk keadaan. Kita bisa, bahu membahu melawan semua ini walau beralaskan jarak berlatar asa. 

Hingga sampai pada nurani bahwa kita adalah jarak yang patut disyukuri adanya.


Komentar

Posting Komentar

Postingan Populer