Singgah yang sungguh


Belasan tahun hidup bersama abdi Negara memberi sedikit nilai unggul dalam bernasionalis dibanding sejawat lainnya. Belasan tahun hidup bersama tunawisma kontrak memberi sedikit pemahaman perihal tempat istirahat untuk kembali bekerja. Belasan tahun hidup bersama abdi Negara memberi gambaran tentang bosan yang nyata.
Umur tujuh belas menjadi awal untuk menguji bekal selama dua belas tahun suntuk bertahan dari kurikulum ktsp dan k13 di atmosfer baru yang jauh dari pelukan ibuk bapak. Ibu tawarkan kontrakan nyaman, asrama yg kupilih. Pikirku untuk memarahi diri yang gundah sebab banyak harapan tlah mati. Nyatanya makin menyebalkan tp gpp, kapan lagi berkelabut dengan anak hip hop penjunjung kerapian fasilitas pemerintah. Barusan motivasi andalanku. Hhhh
Rumah bagiku tempat singgah yang paling sungguh. Selama aku menghirup O2 tak pernah ku rasa miliki kamar pribadi dengan dekorasi skaha, apalagi rumah dengan ubin pilihan sendiri. Memangnya benar tidak punya griya pribadi? Punya sih, beberapa cardinal yang malah tidak dihuni oleh orang-orang kami. Sayang, jadi sekretariatnya para setan.
Satu petak lebih kurang 6 meter dengan beberapa sekat di dalamnya, berlapis cat putih abu-abu kebiruan, dan atap asbes pilihan. Deskripsi yang cukup untuk tempat singgah yang kami (baca: aku, adik, ibuk, dan bapak) panggil rumah, tempat kami berkumpul saling menatap mata-mata yang bercumbu dengan cuitan-cuitan musik metal tiap pagi hingga pagi lagi.
“Jadi apa keputusannya pa?” tanya ibuk penasaran. “Pindah haha, Alhamdulillah ndak ke KRI” jawab bapak selow. Setahun dua tahun paling selesai nanti balik, kan tidak lama itu. Kurun waktu yang tidak seberapa untuk bapak, menjalani bosannya berjaga di pos hingga tuntas dengan ikhlas. Sepertinya bapak sudah berjimat anti suntuk, karena telah berikrar. Kalau jadi aku sudah habis berjuta kulah tinta untuk membunuh bosan yang seperti itu.
Makin kesini, cerminku turut berbisik. Rumah memang tempat singgah, mencoba nyaman di rumah milik siapapun adalah baik asal turuti aturan penghuni sahnya. Dan akupun memandang langit dengan penuh harap yang tak pupus jua. Aku pasti punya satu yang kuhuni, nanti.
Kini sadar bahwa rumah bukan sebatas bata yang ditumpuk tinggi halangi cahaya jahat dan udara penyiksa. Dimanapun berada, asal masih di Indonesia yang bisa digapai, asal ada rumah ibadah, asal ada teman, asal ada pemerintah, asal ada uang, semuanya adalah rumah. Walau konyol harus berlakon sbg tunawisma elegan. Rumahku dimana-mana. Yang penting masih sendiri, pasti bakal beda dengan yang sudah berpasukan.
Dalam buku yang belum tercetak ingin membayangkan dia mengucap kalimat berikut, karena tempat singgah yang paling sungguh adalah rumah. Kemudian iya jawabku, karena hatimu adalah rumah yang sungguh untuk perasaanku. Dialog roman dalam angkasanya yang diharap menembus dimensi imaji dan lahir sebagai suatu yang nyata. Hehe yauda gitu aj, ia mengakhiri.

Komentar

  1. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus
  2. Kau dan detak tulisanmu di paragraf awal unggahan ini menyenangkan. Kau mesti bersyukur dengan kalimat-kalimat kuat yang kau punya meski di beberapa bagian detaknya goyah. Senang bisa baca tulisan yang ini, Mep!

    Yaudah, gitu aja. Seqian.

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan Populer