Melarikan Diri


Adalah hal yang menyebalkan ketika harus berhadapan dengan ibu di rumah setiap hari dan setiap saat yang kerjaannya marah mulu. Lulus SMA malah bukan membuat diriku menjadi senang, malah membuatku khawatir. Aku takut tidak bisa hidup sendiri kedepannya.
Ibuku selalu cerita, setelah ia lulus SMA ia langsung berkelana mencari pekerjaan di kota. Ya, ibuku orang desa daerah jombang tepatnya dan dia pergi merantau (istilahnya lah) ke Surabaya. “Umur ibu waktu itu 18 tahun, sudah mandiri”. Aku jadi ngeri sendiri ketika mengingat-ingat ibu cerita seperti itu. Kenapa? Karena seperti ngusir aku dari rumah ngga? Walaupun sebenarnya engga, tapi aku ngerasa begitu. Sejak saat itu aku mulai engga nyaman kalau lama-lama di rumah. Belum lagi disemprot repetan dari ibu setiap harinya, beliau sering  marah kepada adikku tapi ya namanya juga ibu-ibu satu kena semua juga harus kena (biar adil).

Sebelum UN aku baru berpikir mau lanjut kemana, aku tidak mau nantinya harus menghidupi diri dari hasil gaji pelayan toko. Setidaknya jangan, hehe. Lambat sih kalau dipikir-pikir ketika lulus baru mau mikir kemana. Setidaknya aku tidak terlalu lambat dibanding teman-teman yang lain. Tidak sedikit yang memutuskan untuk “libur dulu ah setahun. Tahun depan baru daftar kuliah/kerja/kedinasan”. Huh, sayang umur gak sih? Masa nganggur santai-santai itu mendingan dinikmati ketika uda 60 tahun nanti. Selagi masih bisa loncat sana-sini kenapa engga coba-coba, mana tau rezeki.
Sejujurnya aku tidak tertarik untuk kuliah, menjadi sarjana. Kalaupun kuliah aku lebih milih jadi Ahli Madya, belajar pendidikan vokasi karena menurutku lebih teknikal aja sih daripada sarjana. Tapi setelah aku bilang seperti itu bapak malah bilang “boleh aja, tapi kamu kan orangnya lebih teoritis. Sarjana itu ilmunya lebih hebat dibanding ahli madya. Kamu yang memimpin, mereka yang bekerja.” Dan blab la bla. Mau nanya ibu, ibu juga ndak paham perihal dunia perkuliahan, yasudahlah.
Karena jawaban dari orang tuaku ndak jelas tentang kuliahan, aku jadi memilih untuk coba jadi seorang Abdi Negara. Manatau cocok, karena aku orangnya patuh aturan sih. Aku orangnya terstruktur, maksudnya ya aku bakal bekerja sesuai panduan. Adakalanya aku agak kaku, tapi ketika aku nemu passionku aku bakal berfikir abstrak dan berbeda dari aturan. “lagian kalau jadi Abdi Negara kan asik juga, kontribusi penuh ke tanah air ini dan aku jadi nggak susah-susah mau milih baju untuk kerja sehari-harinya karena ya udah ada aturannya. Tinggal jalan aja” begitu pikirku. Aku adalah orang yang nggak perduli dengan penampilan, bahkan ke pasar untuk berbelanja saja jarang. Boro-boro mau cuci mata lihat baju, nawar aja ga bisa. Jadi ini adalah salah satu kekhawatiranku sih, kalau aku kuliah nanti aku bakal pakai baju apa, set penampilan gimana, gimana jadi menarik dimata orang dan begitu. Berlebihan sih, tapi mau gimana hehe.

“kamu yakin mau masuk TNI?” tanya bapak kepadaku. Aku dengan santai menjawab “iya, emang kenapa? Kan aku ga pendek-pendek kali dan untuk fisik aku juga sudah persiapkan (maklum atlet hehe)”. Bapak langsung bilang kemungkian lulusmu kecil, “wong berat badanmu ndak sesuai tinggimu. Kurus tau! Disuruh makan banyak gapernah mau, makanan dikasih gratis juga kamu ndak perlu keluarin keringat juga ndak mau makan banyak. Gimana mau daftar TNI”. Dalam hati aku tersinggung, bapak itu orang tuaku harusnya dukung dong kenapa malah ngejatuhin aku. Anak orang yang minta bantuan sama dia aja dibantu, lah aku? Aku siapamu pak? Siapa sih yang tidak kesal, mulai dari hari itu aku marah dengan bapak. Kalau aku sudah marah aku bakal nekat ngelakuin apa yang selama ini diremehkan dariku, aku engga mau di cap lemah.
Beberapa hari kemudian di kelasku teman-teman udah pada heboh mau masuk ini itu, walaupun banyak juga yang masih gaje kayak aku, lah aku juga sama sekali engga yakin dengan pilihanku. Waktu itu prioritasku adalah harus dapat nilai UN bagus, ini bakal jadi UN terakhir loh selama aku hidup (nyesel sewaktu kelas 10-11 ga belajar sama sekali karena kecewa engga masuk SMA dan kelas impian hehe). Daftar polisi yok, ajak temanku. Tapi bukan ngajak aku, ngajak teman yang lain huhu :( . Pernah aku bilang ke mereka, aku mau juga lah jadi polisi. Yaah, malah diketawain akunya katanya aku lebih cocok jadi peneliti/akademisi karena aku lumayan lah otaknya ga bego-bego banget. “kemarin bapak, sekarang mereka. Lihat aja besok!”
Aku lupa kapan tepatnya aku minta mama buat nganterin aku ke kantor polisi untuk ngambil formulir. Pokoknya hari itu aku pake rok hitam, baju putih, jilbab hitam, dan sandal hehe (harusnya sepatu, untung ga disuruh pulang akunya sama polisi-polisi disitu). Sampai di kantor polisi aku deg deg sih, pertama kali soalnye dalam hidup masuk kantor yang banyak sidangnya orang-orang kena tilang. Pak saya mau daftar Bintara Polri! dengan lugu dan sok berani aku langsung dituntun masuk, ibuku mengikuti dibelakang. Aku ditimbang dan diukur tingginya. “159 cm 47 kg, wah kurang ni dek. Kamu jadi casis TI saja ya?” aku langsung meng-iya-kan, Teknologi Informasi hmm aku suka itu. Kemudian trap, trap, trap, kuurus semua berkas. Cukup ribet dan banyak banget sumpah, surat kesehatan+tes narkoba aja mahal bat bayarnya. Sekitar 230rb gitu, dalam hati enak juga ya jadi dokter cuma tanda tangani 6 lembar kertas dapat segitu hehe. Tapi ya namanya dokter ya waktu kuliah pasti juga susah, dokter men.
Kalau aku tidak salah, tgl 14 Agustus 2017 aku masukkan berkas ke POLDA Aceh. Ga salah lagi, tinggi pasti dipotong karena rambut w tebal. “157.5 cm, nanti jam 2 balik lagi tes soal TI ya dek. Ini nomor pendaftarannya” haahaa, waktu itu aku ga nyangka aja bisa dapat nomor pendaftaran tanpa ada masalah sama sekali. Karena orang-orang juga banyak yang pada pulang karena kurang tinggi, aku turut prihatin untuk mereka. Sudah jelas bapak engga perduli aku mau tes polisi, pokoknya terserah kamu. Dari SD sampai SMA saja aku engga pernah lihat bapak sekalipun ngurusi sekolahku, selalu ibu. Bahkan tiap ambil rapot dan pengumuman selalu ibu yang kubuat menangis, karena terharu ya bukan apa haha. Alhamdulillah, aku sering masuk 3 besar dalam perangkingan hanya beberapa kali aja di atas itu. Di SMA aku tak tanggung menyabet 5 semester menjadi siswa peringkat pertama dikelas (1 semester aku dapat rangking 4 karena stress tadi, ga masuk sekolah dan kelas impian). Aku  ingin show off ke bapak kalau aku ga bego-bego banget, bangga dikit kek dengan si Mevi ini tapi yagitu dianya juga ga perduli. -_- yaudasih
Rangkaian tes
Ingin membuktikan adakah sogok-menyogok itu?
Dapat nomor sudah, tes awal kemampuan TI juga sudah dan nilaiku lumayan bagus dibanding casis lain. Aku dapat 71 dan yang lain rata-rata 40-50, PD ku naik hehe. Next tes, adalah tes kesehatan (RIKKES 1) wah, geli sih kalau diingat-ingat lagi. Namanya juga tes kesehatan, ya digeledah semuanya pokoknya aku gelii abis kalau ngebayangin ulang haha. Yup dan hasilnya MS (Memenuhi Syarat) aku ingat waktu itu nilaiku 63. Aku yang tidak ada check up merasa kasihan aja sih dengan teman-teman lain yang uda usaha kesana-sini berobat mulai dari lasik, suntik varises, nurunin BB, tarik TB, copot behel, dan sebagainya. Ya setidaknya aku sehat-sehat saja dan bersyukur walau waktu kecil aku penyakitan (pernah divonis gagar otak waktu umur 2 tahun karena terpeleset di kost-kost an) tapi sekarang aku sehat-sehat aja. Aku selalu bersyukur mataku masih 6/6 (normal) dan aku kadang sedih aja dengan orang-orang berkacamata yang melihat dunia dengan bantuan lensa (maaf ya tdk bermaksud menyinggung). Untuk sogok-menyogok tidak terlihat disini, karena logika-in aja. Kalau memang engga sehat gabisa dipaksa dong, haluu nanti waktu pendidikan kleper-kleper dan yang dicurigai kan pihak yg disini, malu dong. Dari hasil observasiku disini masih aman-aman aja.

Well, selanjutnya tes PSIKOTES. Ini pertama kalinya bagi anak cupu seperti aku, aku nikmati aja semua prosesnya. Bagiku asik banget, walau harus berdiri berjam-jam terpapar sinar matahari sampai kulit mukee emang bener-bener gosong. Kapan lagi Mev? Yekan haha. Aku ingat banget waktu itu si Martunis, anak angkat Ronaldo ikutan tes polisi. Tapi PTU (polisi umum gitu kalo aku PTI, teknologi informasi yang anukan hacker gitu-gitu), tau gak sih orang-orang itu langsung nyerah dan bilang dia pasti lewat wong duite akeh tenan (yg tyda bisa b.jawa gausa di paksa yoo). Aku iya kan saja kata orang-orang itu mengenai Martunis, toh dia bolak balik dipanggil sama polisi-polisi disitu ya mungkin ada apa-apanya wkwk. Then, hari itu dimulailah pertandingan mengerjakan beratsu soal psikotes polisi. Kalau ditanya aku ada les? Jawabnya pasti tidak, untuk SBM saja aku males banget masuk bimbel. 68 oiittt, nilai psikotes ku. Langsung di periksa disitu, keren banget menurutku. Jadi celah untuk nyogok ga ada sih di tes psikotes ini dan  untuk pertama kalinya aku tau gimana caranya meriksa lembar jawaban pake system computer. Keren gihhhh, aku jadi semangat untuk jadi polisi TI. Tapi sayangnya Martunis harus jak woe gampong, ga lewat dianya. We can’t blame anyone ya, itu udah takdir sih mungkin Allah ngasi jalan lain yang lebih baik untuk dia. Huznudzon aja.

Nah, diwaktu yang bersamaan aku tes SBMPTN. Waktu tesnya dua hari setelah tes psikotes polisi dan setelah tes SBM esoknya aku tes lagi, tkd IPDN hehe. Wah se-serakah itu ya aku dulu, sebenarnya bukan begitu niatanku hanya coba-coba manatau rezeki tapi ya ak juga berharap lewat di salah satunya dan berusaha soalnye sayang kan kalau tak serius uang juga kebuang. Secara aku Cuma anak seorang pelaut yang pangkatnya kopral, gaji bapak juga pas-pas tapi Alhamdulillah walau banyak jajan kami engga pernah minta orang dan selalu cukup. Allah Maha Baik Maha Pemberi Rezeki, percayalah.
Lanjut, tes SAMAPTA. Ini yang kutunggu-tunggu, waktu itu bapak pernah mengajari aku cara mendapatkan nilai tinggi disini dan gimana cara ngitungnya. Jadi aku sudah ada gambaran seberapa jauh aku harus berjuang mendapatkan nilai yang at least diatas 60.
Cukup menyebalkan, hari itu jam 6 aku otw ke Stadion Harapan Bangsa. Masih gelap jadi aku minta ibu dan adik temani aku, sungguh kalau diingat kasihan ibu yang cape nemenin aku tapi ibu ga pernah ngeluh kaena ibu pernah bilang gini “gapapa cape untuk anaknya” sungguh romantis, cuma ibu yang benar-benar menyayangi aku dengan tulus. Di lampu merah, aku berhenti. Lagi-lagi terlalu taat aturan, padahal sepi ga ada orang bisa aja jalan terus mengingat hari ini aku tes loh jadi harus cepat sampai. Tapi aku ngga bisa nge-gas lagi, pokoknya aturannya sudah begitu kalau berhenti ya berhenti. Tanpa rasa bersalah ada mobil yang melaju kencang ke arahku, memang di sebelahku ada kubangan yang berisi air hujan semalam tapi  untuk mereka yang sedang di dalam mobil saat itu bisa lihat gak sih? Kok tega nge-gas dan jbyurrrr, muncrat semua wee air kubangan tadi ke mukaku, baju putih tesku dan sepatuku. Kecipratan maximal nih namanya, ibu uda ngucap-ngucap. Mana waktu itu aku yang nyetir habislah basah semua, aku engga sedih atau nangis malah pingin ketawa kok bisa-bisanya. Jahat banget, mulai saat itu aku gasuka naik mobil dan males keluar kalau lagi musim hujan.

Oke, uda sampe nih di Stadion. Lumayan rame, hujan rinrik-rintik turut menemani hingga fajar benar-benar terlihat di timur dan waktu tes dimulai. Pertama adalah lari 12 menit, aku dapat nomor 17 warna merah benar-benar pas. Aku suka warna merah dan angka ganjil, this is will be my day nih. Aku berhasil meraih 5 kali putaran + 50 meter. Cukup puas karena bisa dibilang aku nomor tiga tertinggi. Selanjutnya chinning, untuk nilai 100 aku harus bisa chinning sebanyak 72 kali dan aku Cuma dapat 70 kali, oke lumayan. Kemudian push-up, aku dapat nilsi 100 dengan 37 kali push up setengah (khususcewe). Push up ku bisa dibilang sempurna lah, jadi sah-sa aja. Yang cukup aneh nih, dari yang aku lihat. Banyak yang gabisa push up sempurna dan gak konstan tapi tetap dihitung, yang ga bisa naik ke atas sampai sempurna dihitung juga loh. Wah, wah ada apa-apanya nih. Aku sudah mulai mengobservasi lagi disitu, tapi engga menghilangkan keyakinaku bahwa orang jujur pasti dapat yang terbaik. Selanjutnya sit-up, aku lupa disini aku dapat berapa yang jelas lumayan tinggi dan lagi-lagi aku melihat kecurangan.  Hmmmmm hmmm Nisa Sabyan, eh waktu itu belum ada hehe. Lalu, shuttle run (lari angka 8) nilai 100 adalah 17 detik untuk 3 kali lari angka delapan. Oke, aku dapat 20 detik. Lanjuuut, berenang. Ini yang aku takutkan, bukan karena aku gabisa berenang (bisa wee) tapi aku takut out of time karena aku ga pernah latihan pake waktu kalau berenang, yang penting sampe aja gitu dari ujung ke ujung 25 meter. Dan aku ada di putaran pertama dengan 5 orang lainnya, salah satunya bernama Rindu. Sekarang sudah jadi temanku, dia cantik dan seperti namanya bikin rindu haha. Oke lupakan. Baiklah aku dapat sekitar 1 menit untuk menaklukkan 25 meter berenang di kolam renang Tirta Banda Aceh. Cukup buruk, karena aku hanya dapat nilai sekitar 40 gitu, sedangkan untuk nilai 100 yaitu dengan berenang selama 20 detik serius aja. Di tes renang ini kita sama sekali ga bisa bohong ya, soalnya banyak tuh yang gabisa berenang langsung gugur. Kasihan sih, soalnya udah lumayan jauh perjalanan menuju tes SAMAPTA ini, dari 650 orang PTI,  600 PTU wanita, dan 2000 PTU Pria bakal berguguran di sini. Malam itu langsung diumumkan, agak lama sih dan disini aku mulai berfikiran yang aneh-aneh tentang sogok menyogok. Karena dari yang kulihat hanya di tes ini yang ada sela untuk menyogok tapi yasudahlah tetap pada prinsip pertama, orang jujur akan dapat yang terbaik walaupun ga lewat yauda itu yang terbaik mungkin saja Tuhan gamau kita ikut terkontaminasi, eh dengan apa? Gatau ah. Dan hasilnya aku lulus, hehe. Lalu aku pamer dengan bapak, dan bapak bilang wah sudah hebat tu. Sungguh pujian yang jarang kudapatkan dari bapak.
Kemudian lanjut ke tahap selanjutnya yaitu akademik, di sini tes kami agak berbeda dengan casis lainnya dimana ada 2 tes yaitu tes akademik I (Bahasa Indonesia, agama, Sejarah/Pkn) yang dilaksanakana di SMP 17 Banda Aceh dan tes akademik II (tes penjurusan TI). Untuk tes akademik I aku berhasil mendapat nilai bagus dan untuk tes akademik II juga aku mendapat nilai tinggi, ada dua jenis soal yaitu jaringan dan data base (aku memilih database). Tibalah waktu perangkingan, di sini aku sudah pasrah sih ga lulus karena semua nilai kan bakal di gabung sedangkan aku dapat nilai kesehatan dan psikotes yang pas-pas. Di Polda kami semua menunggu di dalam kantor dan melihat hasil bagaimana hasil ujian kami di olah, begotu juga dengan perangkingan. Saat hasil tes akademik diolah nilaiku peringkat tiga, tapi setelah di gabung dengan nilai RIKKES 1, Psikotes, dan Samapta aku mendapat rangking 17 dari 200 orang yang tersisa. Tidak buruk sebenarnya tapi apa mau dikata, setiap Polda Provinsi hanya boleh mengirimkan 5 orang terbaik karena waktu tahun 2017 Bintara TI hanya akan diambil 200 orang se-Indonesia. Yaudasih perjuanganku berhenti sampai disini. Tapi aku senang, setidaknya aku jujur dan hitung-hitung tambah pengalaman. Over all asik, jadi yang penasaran sogok menyogok itu ada atau engga sebenarnya ada tapi celahnya kecil dan polisi yang ketahuan menerima sogokan bakal ditindak kok, sudah ada buktinya aku lihat sendiri. Jadi begitu.
Tidak lewat jadi polisi enggak melunturkan semangatku untuk terus maju, pokoknya aku gamau dirumah aja menghabiskan gap year di tempat tidur. Walaupun gap year itu bukan aib setidaknya aku ada usaha dulu untuk mendaftar dimana-mana, kalau emang takdirnya tahun 2017 aku harus gap year apa mau dikata?

Fokus ke ipdn dan sedikit berharap ke SBMPTN, itu langkah selanjutnya yang aku ambil. Cerita punya cerita, aku juga gagal di IPDN tepatnya di tes Psikologi dan intergrasi. Masalahnya karena aku tidak belajar sungguh-sungguh dan jujur pikiranku udah mecah kemana-mana. Pada akhirnya aku lulus SBMPTN di pilihan ketiga, EKonomi Pembangunan Universitas Syiah Kuala. Huhu, jurusan apaa itu aku gamau sebenarnya. Pilihan ketiga adalah pilihan dari mamaku jadi ya aku qana’ah aja, karena ridho Allah ada di ridhonya orang tua. Lantas aku ngga diam aja sih, aku masih juga mendaftar di Universitas Sebelas Maret jurusan Desain Komunikasi Visual. Jurusan DKV ini adalah jurusan yang sesuai minatku, tapi setelah tau lolos di UNS aku harus merelakannya juga. Kenapa? Ya karena orangtua ga ijinin w kuliah kesana, betapa sedihnya aku. Tapi aku harus patuh, karena tadi supaya dapat ridho yang baik dan jalanku bakal di do’a kan orang tua dengan baik-baik :’).
Pada akhirnya aku harus masuk EKP Unsyiah, karena cuma dia yang mau nerima aku. Pokoknya aku engga tinggal d rumah lagi, walau dekat sih Sabang-Banda Aceh. Buktinya satu semester aku cuma pulang sekali, paling banter 2 kali haha. Tapi aku tetap nikmati aja apa yang udah aku dapatkan, sampai akhirnya aku masuk ke kelas Internasional dimana semuanya full English ditambah mahasiswanya hanya 8-10 orang per kelas. Aku cukup senang, karena beda aja dari kelas regular dan aku jadi dapat sesuatu yang baru walau harus serius belajarnya. Eh, tiba-tiba ada tawaran beasiswa full melayang. Karena di forced sama teman-teman yauda aku daftar dan lewat hehe, lumayan dapat banyak. Banyak banget malah. Intinya ya, nikmati, jalani, dan bersyukur aja.
Melarikan diri dari rumah? Bisa, tapi bukan munafik. Aku juga kadang rindu pingin pulang ke rumah, natural ya namanya juga manusia. Aku sayang ibu. Yaudah gitu aja.

DIbuat saat sedang jengkel kepada orang-orang di rumah

Komentar

Postingan Populer