Jurnalis ; tentang konglomerasi media?
Jurnalis ; tentang konglomerasi media?
Kesan juga
rasa untuk itu, LPM PERSPEKTIF FEB
UNSYIAH salah satunya
Adalah serupa konstelasi, luas tak terhingga. Bersemayam padanya
milyaran asteroid, yang nyata terlihat dan yang fana terbayang telah menjadi
satu di dalamnya.
Adalah membentuk lingkaran kuasa. Maka, bayangkanlah! Sebuah
sentral yang berbinar dengan banyak kanal.
Ada media cetak, ada media berbasis frekuensi seperti radio
dan televisi, ada ribuan portal online. Semua siap dan sedang bersiap untuk
meluncurkan produksinya ke mata-mata para perasa juga penikmat informasi.
Ada yang terbawa emosi, ada yang mudah percaya, ada yang
anti, ada yang iya-iya saja. Macam-macam bentuknya.
Ada, ya mereka ada. Juga dengan kita, yang ada.
[Curhatan]
Belum lama umurku menjadi seorang jurnalis yang sudah
dibuktikan dengan tanda. Ya, Identity Card bahwasanya aku adalah seorang
jurnalis/wartawan (entah apa yang benar, yang jelas keduanya punya persamaan
dan perbedaan). Tapi, aku masih ragu. Dikala perselisihan atas kebenaran sebuah
tulisan sedang gencar meroket tajam, disaat itu pula aku muncul. Benar-benar
masih anak bawang, sungguh cemen aku baru bisa menulis berita yang baik di saat
menjadi mahasiswa. Itupun karena kuasa Tuhan aku digiring masuk ke Lembaga Pers.
Awal masuk saja sudah disuguhi dengan sejarah lahirnya
Perspektif, ya nama Lembaga Pers-ku saat ini. Harus tau bagaimana awal mulanya,
ceritanya! Ayolah aku tak suka dipaksa, tapi yang namanya sejarah harus diketahui ceritanya. Pelatihan Jurnalistik Tingkat Dasar
(PJTD), mengawali sebagian dari semuanya. Tak disangka akan seperti masa
orientasi seorang anggota mapala
(mungkin, tapi aku tidak tau juga. Sok-sok saja hehe), kami berikrar, harus mengenal,
saling bertumpu dengan ketinggian yang sama, harus tau apa itu Jurnalis, siapa
dia?. Dilakukan di alam terbuka lantas belum membuka pikiranku, bisa dibilang
aku sungguh sangat khawatir karena belum izin akan tidur di hutan. Liar fikiranku
saat itu membuat daya tahan tubuhku melemah, aku benci saat-saat lemah ini
datang. Sudah tidak diundang, membuat sakit lagi, “sialan aku kena cacar”
makiku.
Pasrah, kunci utama seorang anak baru. Taati aturan jika kau
ingin selamat. Drama demi drama dipentaskan di hari itu, aku sudah tau tapi
harus pura-pura tidak tau dan akhirnya aku ikut berdrama tanpa lakon yang jelas
seperti nasib ke-27 calon anggota
Perspektif yang katanya belum tau lulus atau tidak. Mengetahui itu, jujur aku
agak takut. “Gila aja kalau aku sampai engga lulus. Ku bela-belain main ke
hutan dengan mambawa cacar ini, pokoknya aku harus lulus. Engga ada urusan!” gumamku
sedikit bersemangat. Aku yang saat itu masih membawa motto If they can do, so do I. Membuatku menjadi sosok manusia yang harus
mendapatkan keinginannya bagaimanapun rintangannya. Terkadang baik juga,
menjadi seorang yang super ambisius dengan semangat yang membara tanpa kenal
lelah. Tapi, buruknya kenapa harus mendapatkan apa yang pernah orang dapatkan? Kenapa
masih pakai orang lain sebagai acuan berhasil? Haruskah menjadi seperti orang
lain? Atas dasar pikiran-pikiran itu, kini aku mulai meredupkan motto itu dan
mulai beralih berharap mendapatkan yang baru.
Malam itu, cacar ini sudah tidak mau diajak diskusi untuk “jangan
muncul banyak dulu plis” tapi mau bilang apa penyakit memang misinya menyakiti.
Dengan malu aku memanggil kakak-kakak di pos terdekat dan mengadu. Memang enak
sih dikala yang lain sedang dalam masa sulit, kita duduk leha-leha karena
sakit. Tapi bagi manusia seperti aku, jujur ga enak dijadikan pusat perhatian
dan pasti kalau sakit dianggap lemah! Asumsi yang menyebalkan.
Tata namanya (setelah kenalan), lembut dan terlihat sangat
pandai. Dialah yang menanganiku, tapi dia bukan pendengar yang baik atau
mungkin karena panik. “Panas nih adek ni, minum obat demam aja ya?” kurang
lebih seperti itu. Kala itu dia meremehkan hipotesis atas diagnosa penyakit
yang aku simpulkan sendiri, aku tak bisa kesal karena dia terlalu baik dibanding
kakak-kakak lainnya. “yaudahlah kak, boleh.”
Api unggun malam itu tidak berasa sama sekali atau karena
aku mati rasa akibat khawatir cacar ini semakin menjadi-jadi? Entah, yang
kulihat seorang MC dadakan bicara ditengah pentas drama api unggun malam itu. “Anak
Jakarta itu pasti lulus, dia menarik dan berbakat. Suaranya bagus, public
speakingnya juga bagus” gumamku. Aku duduk di pinggir menyendiri karena takut
nanti yang lain tertular virus dariku, menanti kapan waktu mati suri malam itu
segera datang. Aku gak ngantuk, tapi ingin tidur. Keinginanku terkabul, kami
tidur ramai-ramai satu tenda. Aku berdo’a pada Tuhan agar esok hari cacar ini
menunda misinya.
“Dek! Dek! Bangun!” sungguh mengganggu, tapi aku harus sadar
aku masih disuruh bermain di lapangan. Senter itu menyilaukan aku, ketua
panitia acara itu menyuruhku naik ke atas bukit bersama satu orang rekan
sejawatku. Laron 019, itu namaku. Pos demi pos aku lalui, isinya ya gitu. Sekumpulan
orang-orang yang malam tadi tidak tidur bergantian memberikan pesan untuk
disampaikan ke sekumpulan orang lainnya. “Tunggu aku!” tegasku pada teman yang
bersamaku tadi. Aku memang agak lambat berjalan, karena aku masih mengantuk.
Tiba di salah satu pos yang aku lupa namanya, dengan
lancangnya dia menempelkan entah apa itu namanya di wajahku. Aku mau menangis
bukan takut jelek dan jorok, lagipula aku juga tidak selalu rutin mandi. Aku menangis
karena yakin, usai ini cacarku pasti akan memenuhi wajahku. Cacar-cacar sialan
ini perlu diberikan apresiasi karena berhasil membuat air mataku bergelinangan.
Dan yasudah dipos-pos selanjutnya aku terus menangis tanpa memikirkan apa yang
sudah kulewati, pokoknya aku menangis karena yakin dua minggu kedepan aku bakal
absen kuliah. Pasti! Karena Chicken pox ini, sungguh aku cemen sekali saat itu.
Dan akhirnya pulang. (malas cerita panjang-panjang, intinya
semua diterima dan jadilah kami ke-27 orang tadi letting Laron)
Alhasil, aku absen kelas selama dua minggu. Sambil mengadu
sejadi-jadinya pada ayah dan ibu atas bencana cacar yang menimpa seluruh
tubuhku.
Selasa, 13 February 2018. Rapat kerja LPM Perspektif FEB UNSYIAH
[Akhir curhatan]
Ratusan hari telah kulewati dengan Perspektif, sepertinya. Jujur
baru kali ini aku merasa benar-benar nyaman, segala memori yang telah menjadi
kisah dalam kenangan membuatku semakin besar dalam memupuk rasa sayang kepada
Lembaga Pers ini. ceritanya terlampau banyak, dan aku berencana membukukan.
(???) Kalau sempat :’) Kesal? Jangan Tanya, di semua perkumpulan juga pasti
ada. Bumbu penyedap wajib namanya. Ya, dengan menyesal aku mengatakan bahwa aku
sayang Perspektif dan aku bersyukur. Hehe
[Kembali ke
pembahasan serius]
Dari yang kecil, aku belajar dan mulai membuka mata. Tulisan,
video, foto, yang diberitakan media punya tumpunya masing-masing. Intinya
sesuai porsi, dan bagi konsumen jangan salah dalam mengkonsumsi.
Di Indonesia kini terdapat sekitar 1248 stasiun radio, 1706
media cetak, 76 stasiun televisi, dan 176 stasiun televisi yang sedang
mengajukan ijin siaran. Dan sedang menjadi tren dalam waktu hitungan hari terus
bermunculan portal-portal media online dengan nama yang bermacam-macam.
Dari ribuan kanal media yang ada di Indonesia, hanya 12
orang saja pemiliknya. Hanya 12 orang.
Sumber :
Muslimah Hizbut Tahrir Indonesia
*aku ingin membeli tivi, tujuh puluh dua inchi *untuk bisa
aku nikmati, bersama sanak famili (Tau gak lagu apa? Hahaa)
Seperti variabel bebas, berita juga mengalir seperti itu. Di
tangan segelintir kecil pemilik, adalah yang kini tengah terjadi di industri media
Indonesia. Dalam istilah ekonomi hal semacam ini disebut oligopoli (berhubung mahasiswa
kampus kuning UNSYIAH, hehe) atau dalam istilah yang lebih dikenal secara umum
K-O-N-G-L-O-M-E-R-A-S-I, kepemilikan yang dari hari ke hari makin
terkonsentrasi ini namanya Konglomerasi.
Jika bicara soal kebebasan, yang selalu diagung-agungkan
insan Tuhan yakan? Toh media kita beragam, kita bebas memilih!
Mungkin aku mengajak kita untuk melihat dari sudut pandang
lain juga sambil berefleksi. Apa benar kita bebas memilih? Karena apapun yang
kita tonton, apapun yang kita baca, apapun yang kita dengar, itu yang punya ya mereka itu. Ya dua
belas pemilik itu.
Konsentrasi kepemilikan media dalam hal yang berkenaan
dangan frekuensi terutama televisi pasti
memengaruhi, yang berimbas pada alokasi frekuensi publik yang akan jatuh pada
tangan pemilik yang sama. Kalau dalam gunung berapi tandanya Awas!
Jadi, marilah menjadi jurnalis minimal untuk diri sendiri dan
ya udah gitu aja!
Halo anak muda, senang mengenalmu. Salam pers mahasiswa! Huha!
BalasHapusSalam Persma kembali!
HapusHEI MISS COOLER :-)
BalasHapuscool (y)
Danke Mr Pion!
Hapus