Percikan Kagumku lewat Jembatan cot Iri - Tulisan Feature tentang Wisata



Percikan Kagumku lewat Jembatan Cot Iri

Dari perjumpaan yang tak terencana, muncul percikan kagum atas ciptaan Tuhan. Benar, aku kagum. Aku kagum melihat indahnya langit malu memerah sebelum tunggak gunung itu habis. Memang seharusnya manusia diciptakan untuk bersyukur atas segala titipan Ilahi yang sebentar ini. Kala itu aku sedang melintasi jembatan Cot Iri ditemani petikan mandolin indah yang telah terekam di telepon genggamku. Aku berhenti, dan terpana melihatnya seperti merasa jatuh cinta atasnya. Sederhana tempatnya, tak sebegitu luas tapi banyak juga mobil dan motor melintas di jembatan itu. Jembatan warna kuning itu terlihat estetik bagiku, atau mungkin karena aku anak Ekonomi yang kuliah di kampus kuning gerbang kopelma? Ah, tidak juga. Itu terlalu berlebihan.

Gla Deyah, Krueng Baroena Jaya, Aceh Besar. Itu alamat ke jembatan Cot Iri, jembatan ini terlihat sudah lama hadir di Jalan Teuku Iskandar. Mungkin ia telah merasakan dan melihat berbagai peristiwa yang telah terjadi di sini atau mungkin dia hanya tepaku diam disana, entahlah aku juga tidak bertanya kepada benda mati itu. Dibawah jembatan Cot Iri itu aku melihat air sungai mengalir seperti pada umumnya, sebenarnya tak ada yang terlalu istimewa dari tempat itu. Tapi aku rasa tempat ini berpotensi untuk dijadikan objek fotografi.

Dalam waktuku menikmati suasana di jembatan Cot Iri, aku sedikit berdialog dengan Tuhan-meski hanya satu arah aku mengungkapkan rasa bersyukur kepada-Nya. Mungkin Jembatan ini hanya contoh kecil dibandingkan keindahan alam lainnya yang sudah lebih dahulu hadir di tanah Serambi Mekkah ini. Aceh, nama tempat dimana aku sedang berdiri saat ini. Bicara tentang Aceh tak akan ada habisnya, tapi bila bicara tentang cinta lebih rumit adanya. Boleh dibilang aku mulai jatuh cinta dengan Aceh, mulai dari sejarahnya yang banyak mendominasi dalam buku pelajaran sejarah, budaya islaminya, dan potensi-potensi yang masih terkubur didalamnya. Tolong, ini bukan bualan belaka.

Kembali ke jembatan Cot Iri, aku memarkirkan motorku di pinggir jembatan. Melempar beberapa langkah, dan bersandar di bahu jembatan. Beberapa kali ketika mobil bermuatan besar dan penuh lewat, jembatan sedikit bergoyang bersama diriku diatasnya. Mungkin karena usia atau perasaan saja, yang jelas langit disana selalu saja indah. Kita semua memang berada di bawah langit yang sama, cinta kita juga terpantul dari bumi yang sama. Tapi ini bagian indahnya,  ditempat dan suasana yang berbeda kita alunkan Shalawat bersama-sama. Betapa romantisnya, saat azan Magrib memanggil langit juga ikut terpanggil.

Dari sini, Jembatan Cot Iri aku mengerti kalau hidup di bumi kita harus paham bertoleransi. Aceh cukup adil menurutku dalam beragama walau didominasi oleh muslim didalamnya. “Jangan takut datang kemari” ujarku kepada saudaraku di Kota Pahlawan. Pariwisata disini juga sedang berbenah, seperti saat ini yang sedang menggencarkan Halal Tourism.

Aku bukan orang yang percaya bahwa cinta dengan alam itu harus tiga centimeter dekatkan mata ke kamera DSLR atau semacamnya. Menangkap cahaya itu perbuatan yang sah-sah saja dilakukan asal tahu tempatnya, aku juga suka mengabadikan gambar jadi bukan masalah besar. Tapi untuk kita yang sekarang berdiri di Aceh, kusarankan banyak-banyaklah promosi. Promosi tentang keunggulan Aceh pastinya, bukan yang lain-lain. Berbenah seutuhnya jangan sedikit-sedikit nanti seperti kisahnya dimana kasih miliknya diambil orang. Dari jembatan Cot Iri, aku melaporkan. Melaporkan kekaguman dan rasa syukurku pada-Mu.

Komentar

Postingan Populer